Saat ini saya ada di penghujung tahun ke 5 studi Ph.D. saya. Empat tahun saya habiskan di Australia dan 1 tahun terakhir saya menulis (dan melakukan simulasi) dari Indonesia. Setahun terakhir, di tengah kelelahan secara fisik dan emosi, pertanyaan berikut sering muncul: “Apakah saya harus berhenti atau melanjutkan PhD saya?”. Tulisan ini ialah rekaman beberapa pergumulan batin saya dan self encouragement bagi saya untuk menyelesaikan PhD saya.
Should I quit my PhD?
Saya yakin hampir setiap mahasiswa PhD pernah menanyakan hal ini dalam masa studi mereka. Karena mahasiswa PhD umumnya memiliki prestasi yang baik di fase studi sebelumnya, tidak mudah menerima kenyataan bahwa mereka ternyata “tidak terlalu pintar” dan mengalami kesulitan saat menempuh PhD. Saya mengalaminya. Berikut beberapa kesulitan yang saya alami.
My difficulties
Studi PhD tidaklah mudah. Di Australia, penelitian yang kita kerjakan haruslah memberikan kontribusi baru pada ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Bukan hanya di Australia, tapi di dunia. Bagaimana menghasilkan kontribusi baru itu? Tidak ada yang tahu persis caranya. Profesor akan memberi arahan, tapi pada akhirnya mahasiswa sendirilah yang harus menemukannya sebagai peneliti yang mandiri. Hal ini cukup sulit, apalagi bagi mahasiswa Asia yang umumnya hanya mengerjakan apa yang diminta oleh pembimbingnya. Kecenderungan perfectionism dapat membuatnya makin sulit. Continue reading