Category Archives: Ph.D.

Why should I finish my PhD?

Saat ini saya ada di penghujung tahun ke 5 studi Ph.D. saya.  Empat tahun saya habiskan di Australia dan 1 tahun terakhir saya menulis (dan melakukan simulasi) dari Indonesia. Setahun terakhir, di tengah kelelahan secara fisik dan emosi, pertanyaan berikut sering muncul: “Apakah saya harus berhenti atau melanjutkan PhD saya?”. Tulisan ini ialah rekaman beberapa pergumulan batin saya dan self encouragement bagi saya untuk menyelesaikan PhD saya.

Should I quit my PhD?

Saya yakin hampir setiap mahasiswa PhD pernah menanyakan hal ini dalam masa studi mereka. Karena mahasiswa PhD umumnya memiliki prestasi yang baik di fase studi sebelumnya, tidak mudah menerima kenyataan bahwa mereka ternyata “tidak terlalu pintar” dan mengalami kesulitan saat menempuh PhD. Saya mengalaminya. Berikut beberapa kesulitan yang saya alami.

My difficulties

Studi PhD tidaklah mudah. Di Australia, penelitian yang kita kerjakan haruslah memberikan kontribusi baru pada ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Bukan hanya di Australia, tapi di dunia. Bagaimana menghasilkan kontribusi baru itu? Tidak ada yang tahu persis caranya. Profesor akan memberi arahan, tapi pada akhirnya mahasiswa sendirilah yang harus menemukannya sebagai peneliti yang mandiri. Hal ini cukup sulit, apalagi bagi mahasiswa Asia yang umumnya hanya mengerjakan apa yang diminta oleh pembimbingnya. Kecenderungan perfectionism dapat membuatnya makin sulit. Continue reading

How does a Ph.D. student learn?

Tanpa terasa, tahun ini ialah tahun ke 3 saya menempuh studi Ph.D. di UNSW, Australia. Saya ingin berbagi hal – hal unik tentang natur studi Ph.D. yang tidak pernah saya pikirkan sebelum menjalaninya.

phd-learn

Break out of the undergraduate mentality

Nasehat yang baik ini dikemukakan Jason Hong (CMU) [1]. Jika mahasiswa undergraduate hanya perlu mempelajari materi yang telah disampaikan dosen di kelas, maka mahasiswa Ph.D. harus mempelajari materi yang jauh lebih luas, bahkan yang tidak pernah disentuh pembimbingnya. Jika mahasiswa undergraduate  mendapat tugas mingguan dan mengikuti ujian di akhir semester, maka mahasiswa Ph.D. hanya akan melakukan defense dan atau submit the thesis setelah 3 – 4 tahun masa studinya.

Intinya, mahasiswa undergraduate dibimbing dengan detail oleh dosen untuk memahami materi dalam jangka pendek, sedang mahasiswa Ph.D. hanya mendapat arahan umum dan harus melakukan riset jangka panjang yang menghasilkan kontribusi original pada ilmu pengetahuan.

Perbedaan ini kadang membuat mahasiswa Ph.D. merasa “diabaikan” pembimbingnya, “tersesat” di hutan belantara bidang ilmu tertentu, dan tidak tahu kemana arah penelitian yang dilakukan. Untuk itu mahasiswa Ph.D. perlu beradaptasi dan keluar dari mentalitas mahasiswa undergraduate. Continue reading

Mengapa studi Ph.D.?

Kadang orang bertanya pada saya, “Mengapa kamu kuliah tinggi – tinggi? Kenapa harus melanjutkan studi sampai Ph.D.?”

phdJawaban yang naif mungkin : supaya mendapat gaji yang lebih besar, lebih keren (atau percaya diri), karena ada embel – embel doktor di nama kita, karena “dianjurkan” orang tua, atau sederet alasan lainnya.

Untuk saya jawabannya cukup mudah, karena saya adalah dosen maka adalah wajib hukumnya untuk melanjutkan studi sampai S3 sebagai bentuk tanggung jawab terhadap profesi yang diberikan Tuhan ini.

Namun jika alasan saya hanyalah “formalitas” karena saya adalah seorang dosen, hal tersebut kurang kuat untuk mendorong saya melewati masa yang berat (namun memuaskan) selama studi Ph.D. Saya mencoba menggali lebih dalam dan menemukan beberapa jawaban berikut.

Berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan

Di awal masa studi, profesor saya beberapa kali mengatakan bahwa penelitian saya haruslah memberi kontribusi pada ilmu pengetahuan bukan hanya di Australia, tapi di dunia! Hal ini berarti saya harus banyak membaca hasil penelitian para peneliti lain untuk menemuan state of the art di bidang yang saya tekuni.

Matt Might (profesor computer science di University of Utah) memberikan gambaran tentang studi Ph.D. dengan sangat baik. Berikut ini salah satu diagramnya.

PhDKnowledge.010source : http://matt.might.net/articles/phd-school-in-pictures/

Continue reading

From Surviving to Enjoying My Research

Sudah lama saya ingin menulis tentang penelitian saya dalam bahasa yang sederhana di  blog ini, namun belum ada ide yang pas … sampai hari ini. Saya ingin menyampaikannya sambil berbagi tentang bagaimana cara saya untuk menyukai (dan menikmati) topik penelitian saya.

phd021111s.gif

Topik penelitian saya

Sebelumnya saya ingin “mengaku dosa”: saya tidak menemukan sendiri topik penelitian saya. Setelah setahun lebih bergelut dengan (sekitar) lebih dari 100 paper, saya tetap tidak dapat menemukan topik yang cocok dengan saya dan “direstui” oleh profesor. Saya hanya menemukan “arah”, bahwa penelitian saya akan terkait dengan penerapan machine learning di robot dengan memanfaatkan physics simulator untuk mempercepat proses belajar. Namun sampai Annual Progress Review (APR) yang pertama, saya tidak memiliki research problem yang kuat untuk dipecahkan.

Beberapa hari sebelum sidang APR, profesor saya secara literal menyatakan dengan “berat hati” mengusulkan research problem yang bisa saya gunakan. Pada waktu yang sama beliau sedang mengajukan research grant yang (entah kebetulan atau tidak) menggunakan teknik yang saya ajukan di proposal. Mengapa dengan “berat hati”? Karena di Australia, sangat umum bagi mahasiswa Ph.D. untuk memilih topik penelitian sendiri dengan bebas, tidak harus mengikuti arahan profesor. Mungkin juga beliau agak kecewa dengan kemajuan saya. Apapun alasannya, untuk saya pribadi, arahan ini sangat penting artinya (meski di dalam hati saya merasa gagal dan khawatir),  namun karena keterbatasan pemahaman yang mendalam (akibat lintas jurusan) plus durasi beasiswa yang sangat singkat, saya menyetujui untuk mengikuti arahan beliau. Continue reading

Confirmed or not confirmed?

Setiap mahasiswa Ph.D. harus melalui fase konfirmasi sebagai persetujuan bahwa ia layak untuk meneliti sebagai mahasiswa Ph.D. Hal ini seperti layaknya seorang pelari yang bersiap untuk berlari dari posisi Start. Di posting ini, saya ingin berbagi tentang pengalaman saya melalui fase konfirmasi, dan untuk saya,  seperti biasa, fase tersebut tidak mudah untuk dilewati.

usain-bolt-starting-to-run-wallpaper-53e3e83a83fd8

Tentang tahap konfirmasi

Di UNSW, fase ini ditentukan dari hasil sidang Annual Progress Review (APR) yang pertama. Ada 3 hasil yang mungkin didapatkan : satisfactory, marginal satisfactory, dan unsatisfactory. Untuk APR pertama, hasilnya harus satisfactory, jika tidak mahasiswa harus melakukan sidang ulang 3 bulan berikutnya. Hal yang “menakutkan” ialah jika mahasiswa gagal dalam sidang ulang, ada kemungkinan universitas akan mencabut statusnya sebagai mahasiswa.

Dalam APR, mahasiswa harus menyiapkan proposal penelitian, mempresentasikan di depan panel, dan menjawab pertanyaan dari panel. Hal yang terberat (dan terpenting) tentunya ialah mempersiapkan proposal penelitian, karena dari sini akan terlihat apakah mahasiswa menguasai bidang keilmuan yang ditekuni, memahami state of the art dari bidang tersebut (melalui literature review yang komprehensif), dan dapat menemukan novelty dari penelitian yang direncanakan ke depan.

Persiapan yang berat

Seperti saya tuliskan di posting sebelumnya, saya mengalami kesulitan untuk menentukan arah (dan novelty) penelitian karena latar belakang keilmuan yang berbeda. Bahkan setelah saya memutuskan untuk mengikuti arahan profesor, masih ada kesulitan lain, yaitu menguasai bidang yang baru tersebut. Saya harus “melupakan” puluhan paper yang sudah saya pelajari di 6 – 9 bulan pertama (tentang robot control, reinforcement learning, dan metode statistical learning lainnya)  dan mengawali mempelajari banyak paper di bidang yang baru tersebut (logical concept, relational learning, symbolic planning, etc.). Bahkan saya baru mulai mempelajari bahasa pemrograman utama yang akan saya gunakan (PROLOG) di bulan November tahun lalu. Saya tertinggal cukup jauh. Continue reading

Apakah aku “layak” untuk menjadi mahasiswa Ph.D.?

Pertanyaan di atas sering kali “menghantui” saya dalam tahun pertama studi Ph.D. di UNSW Australia. Akibat latar belakang bidang yang berbeda, saya sering mendapati bahwa pengetahuan saya tentang suatu masalah terkadang lebih buruk dari pada mahasiswa undergraduate di kelas. Bahasa Inggris yang terbatas juga menjadi hambatan untuk berdiskusi dengan profesor ataupun mahasiswa lain. Perasaan minder dan terisolasi karena perbedaan budaya makin memperburuk kondisi ini.

negativePada fase tersebut pertanyaan – pertanyaan negatif (yang sejenis dengan judul di atas) sering muncul :

  • “Apakah aku akan bisa menyelesaikan studiku?”
  • “Apakah aku dapat “bersaing” dengan mahasiswa Ph.D. lainnya?”
  • “Apakah aku sedang menipu Profesorku dengan berpura – pura bahwa aku pandai dan kompeten?”

Intinya adalah saya meragukan kemampuan diri sendiri. Dan hal itu mengurangi semangat dan menyerap energi (yang seharusnya saya gunakan untuk belajar). Dalam masa – masa negatif ini, berikut beberapa hal yang membantu saya. Continue reading

Mencari topik disertasi = mengenal supervisor lebih dekat

Tantangan pertama yang harus dilalui mahasiswa Ph.D. ialah mencari topik penelitian untuk disertasinya. Untuk saya pribadi, pencarian topik ini membawa saya untuk “mengenal” profesor (supervisor) saya lebih dekat. Hal yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya, namun sangat penting bagi mahasiswa Ph.D. Here is my story…

keep-calm-and-write-your-proposal-13

My first (and unused) research proposal

Semuanya dimulai saat saya mencari Profesor yang bidang minatnya sama dengan saya. Mimpi saya ialah melanjutkan penelitian saya saat studi S2 yang berkaitan dengan rescue robot dan reinforcement learning (atau machine learning secara umum). Proposal yang saya ajukan untuk mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) juga berkisar di bidang tersebut.

Hal yang saya tidak sadari saat itu ialah sangat luasnya 2 bidang di atas, dan bidang penelitian pembimbing saya sebenarnya berada di spektrum yang agak berbeda dengan apa yang saya bayangkan. Singkat cerita, proposal tersebut hampir sama sekali tidak saya gunakan dalam menyusun proposal Ph.D. sebenarnya.

Just follow my passion (is not always a good idea)

Di fase awal bimbingan, Profesor saya hanya mengarahkan untuk banyak membaca penelitian terbaru, sambil menyarankan beberapa nama peneliti yang layak dijadikan referensi. Pada fase ini saya dengan bersemangat membaca banyak paper yang menarik minat saya dan mencoba menemukan topik penelitian yang sesuai. Sebagian besar paper yang saya baca adalah tentang penerapan statistical learning dan robot control yang familiar dengan background ilmu saya saat S1 dan S2 dulu.

Di kemudian hari saya baru sadar bahwa saat itu sangat sedikit paper pembimbing yang saya baca dengan mendalam, karena penelitian beliau lebih banyak ke relational learning, logic, dan classical Artificial Intelligence, topik – topik yang asing dengan saya. Continue reading

Tantangan studi Ph.D. di luar negeri

Hari ini tepat 1 tahun saya menempuh studi Ph.D. di UNSW Australia. JIka pada beberapa posting sebelumnya saya menceritakan manfaat dan keuntungannya, posting kali ini akan membahas kesulitan tantangan yang saya hadapi saat menempuh studi di Australia. Berikut ini beberapa pengamatan subyektif saya (yang tentunya akan berbeda dengan orang lain).

phdLatar belakang jurusan, scientific background

Di UNSW saya mengambil jurusan Computer Science & Engineering, padahal S1 dan S2 saya dari jurusan Teknik Elektro, peminatan Teknik Sistem Pengaturan. Saya “berpindah” jurusan, karena di bidang riset saya tentang robotika, trend penelitian mengarah pada penerapan algoritma machine learning pada robot cerdas.

Mulanya saya berpikir, asal saya disiplin belajar mandiri, membaca buku dan mengikuti kuliah, pasti semuanya berjalan lancar. Kenyataannya tidak semudah itu. Perlu waktu yang cukup lama untuk memahami suatu bidang ilmu dengan mendalam. Juga perlu perubahan paradigma besar – besaran untuk menganalisa suatu masalah, jika selama belasan tahun saya melihat masalah dari suatu sisi, sekarang saya harus bisa melihatnya dari sisi yang lain.

Bagaimana untuk bisa memahami bidang ilmu yang baru? Kuncinya hanya satu. Belajar mandiri dengan keras. There is no shortcut. Studi lanjut di luar negeri tidak akan membuat kita pintar dengan sendirinya. Tidak akan ada Profesor (atau teman) yang akan dengan leluasa memberikan waktunya untuk kita untuk mengajari kita bidang ilmu tersebut. Saya menggunakan uang buku dari beasiswa Dikti untuk membeli literatur yang diperlukan (akhirnya uang buku 3 tahun habis di tahun pertama 🙂 ). Continue reading

Perjalanan Panjang Mendapatkan Beasiswa Luar Negeri DIKTI

Bagi sebagian besar orang, mungkin beasiswa Dikti terkesan “mudah” didapatkan (jika anda adalah dosen tetap di PT tertentu). Mungkin hal tersebut ada benarnya. Namun tidak selalu demikian. Saya akan menuliskan “perjalanan panjang” saya untuk mendapatkan beasiswa Dikti. Saya tahu ada rekan – rekan lain yang mungkin menempuh jalan yang lebih panjang (dan berat) lagi. Untuk semua yang sedang berjuang, tetap berdoa, terus  berjuang dan jangan menyerah!

tired runnerMencari dan “melamar” Profesor (awal Agustus 2012)

Langkah pertama yang harus dilakukan ialah menemukan profesor yang memiliki minat penelitian sama dengan kita, bereputasi internasional, dan (jika mungkin) adalah salah satu idola kita di dunia akademik. Sebenarnya saya sangat nge-fans dengan seorang profesor dari Tohoku University yang meneliti di bidang rescue robotics. Saya sudah bertemu 2 kali (secara fisik) dengan beliau, dan mendapatkan respons yang baik saat melakukan follow up via email. Namun ternyata untuk mendaftar ke universitas tersebut, kita harus hadir secara fisik dan mengikuti tes tulis di sana. Hal ini tentu sangat memberatkan secara finansial. Akhirnya dengan berat hati saya putuskan untuk mencari profesor yang lain.

Continue reading

Mengapa Studi Lanjut di Luar Negeri? (2)

Jika pada posting sebelumnya saya membahas alasan – alasan yang bersifat “teknis” (akademis), kali ini saya akan membahas keuntungan – keuntungan “non teknis” saat menempuh studi lanjut di luar negeri.

Terbuka dan Toleran

Keuntungan pertama ialah studi lanjut di luar negeri akan memperkaya pandangan kita tentang kehidupan. Merasakan lingkungan dan budaya baru, menikmati “benturan – benturan” yang ada bisa membuat anda (dan keluarga) makin dewasa dalam menyikapi hidup. Kita tidak lagi merasa diri sendiri paling benar, kita mulai melihat hal – hal sederhana dari sisi pandang orang lain, pendeknya kita makin terbuka dan toleran terhadap perubahan.

IMG_0737_small

Tahan banting

Selain itu, kita akan menjadi pribadi yang lebih “tahan banting”. Saat berada di luar negeri, anda akan kehilangan supporting system (keluarga besar, teman – teman) seperti yang ada di Indonesia. Sebagai gantinya, anda harus menghadapi segala sesuatu “sendiri” (bersama dengan Tuhan), dan hal itu akan sangat mengubah karakter anda. Makin mandiri, makin kuat dan makin berserah pada Tuhan.

IMG_0741 Continue reading